SELAJUR.COM, SAMARINDA – Akademisi Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah menyoroti, munculnya polemik Pemungutan Suara Ulang (PSU) di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) berdasarkan dinamika politik saat ini.
Disampaikannya, lazimnya PSU ini dilaksanakan karena dua hal, yakni karena Force majeure (bencana alam) atau karena ditemukan bukti-bukti yang membuat proses pemilu tidak sah.
“Bisa karena adanya kecurangan, kelalaian petugas, dan hal-hal yang membuat proses pemilu tidak sah. Namun, PSU hanya bisa diputuskan oleh KPU kabupaten/kota,” ujar pria yang akrab disapa Castro itu saat dihubungi SELAJUR.com, pada Sabtu (24/2/2024) siang.
Dirinya juga menyinggung terkait aplikasi Sirekap milik KPU yang dinilai sebagai biang kerok carut marutnya Pemilu tahun ini.
Castro menjelaskan, seharusnya pihak penyelenggara terlebih dahulu memastikan, bahwa Sirekap telah siap digunakan. Serta, diuji secara komprehensif untuk meminimalisir timbulnya human error.
“Diuji coba secara simultan agar semakin siap dan sempurna, karena semua pihak ingin transparan dan terbuka. Kalau soal kerawanan pasti selalu ada,” ungkapnya.
Kata dia, KPPS sangat mungkin jika mendapatkan sanksi pidana. Hal itu karena kelalaian yang dengan sengaja tidak membuat dan menandatangani berita acara kegiatan.
Berita acara kegiatan dalam hal ini merupakan berita acara kegiatan pemungutan dan penghitungan suara, serta sertifikat rekapitulasi suara.
“Bisa diancam pidana paling lama satu tahun penjara,” tutupnya.
[BEY/SET]