SELAJUR.COM, SAMARINDA – Kelompok akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS), menolak putusan rancangan perubahan UU MK untuk disahkan dalam rapat paripurna.
Perwakilan Herdiansyah Hamzah, menyebut RUU MK ini merupakan langkah penggunaan hukum untuk mengintidimasi tindakan yang tidak demokratis atau autocratic legalism. Kondisi tersebut bisa merusak bangunan negara hukum, demokrasi dan mengancam independensi Mahkamah Konstitusi.
“Rancangan Perubahan Keempat UU MK mengandung masalah prosedural dan masalah materiil yang berbahaya,” ucapnya, melalui keteranghan resmi diterima media ini, pada Sabtu (18/5/2024).
Ada masalah prosedural yang disorot oleh Kelompok akademis hukum tata negara. Masalah prosedural pertama yaitu perubahan terhadap UU MK ini bersifat reaksioner dan tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Dalam hal ini, perencanaan Perubahan Keempat UU MK, tidak terdaftar dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024. Juga tidak terdaftar dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2024, ataupun dalam daftar kumulatif terbuka tahun 2024.
Masalah kedua pada peembahasan pada pembicaraan tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup dan tergesa-gesa. Terdapat satu fraksi yang tidak dilibatkan. Yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Serta sejumlah anggota Komisi III DPR tidak mengetahui adanya pembahasan Perubahan Keempat UU MK pada Pembicaraan Tingkat I tersebut.
“Masalah ketiga, DPR dan Presiden pun mengabaikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation), sebab kanal partisipasi publik ditutup dan dokumen perancangan undang-undang seperti RUU dan naskah akademik tak dapat diakses secara formal oleh publik,” sambung pria yang akrab disapa Castro ini.
Serta terakhir, pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru, untuk segera mengesahkan Perubahan Keempat UU MK. Dari paparan tersbeut, CALS berharap agar DPR dan Presiden tidak mengesahkan RUU ini karena dapat mengancam independensi MK.
“Kami berharap agar DPR dan Presiden tidak meninggalkan warisan yang buruk dengan menghentikan pembahasan dan tidak mengesahkan RUU MK ini. karena substansinya dapat mengancam independensi Mahkamah Konstitusi,” pungkas Castro.
[RUL/SET]