Oleh: Cornelius Corniado Ginting, S.H
DALAM 30 TAHUN, PDB riil Indonesia telah meningkat hampir empat kali lipat dari 794,027 miliar (ADHK 2010) pada tahun 1990 ke angka 3,046 triliun (ADHK 2010) pada tahun 2018. PDB rill Indonesia diproyeksikan untuk terus tumbuh ke angka 5,163 triliun pada tahun 2030 yang akan menempatkan Indonesia di 5 perekonomian terkuat di dunia tahun 2030.
Perbaikan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti oleh perbaikan taraf hidup yang ditunjukkan oleh kenaikan angka PDB per kapita yang stabil, juga transformasi struktural perekonomian Indonesia.
Transformasi tersebut juga terefleksikan dari menurunnya share sektor agrikultur bersamaan dengan meningkatnya share sektor manufaktur dan jasa terhadap PDB. Perbaikan perekonomian juga menghasilkan kemunculan ekonomi digital dan pasar karbon yang akan menyiapkan Indonesia dalam era industry 4.0.
Untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi lebih inklusif dan memperbaiki kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, diperlukan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat, seperti melalui perpajakan dan keterlibatan aktif dalam demokrasi.
Namun demikian, meningkatnya partisipasi memerlukan tata kelola pemerintahan dan kelembagaan yang lebih baik. Tantangan dan tuntutan yang berasal dari kemajuan perekonomian Indonesia telah terkandung dalam Agenda Pembangunan Berkelanjutan.
Indonesia,melalui Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) telah meningkatkan ambisinya dalam komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Semula, target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri adalah 29%, menjadi 31,89% pada ENDC, sedangkan target dengan dukungan internasional sebesar 41% menjadi 43,20% pada ENDC.
Peningkatan target tersebut didasarkan kepada kebijakan-kebijakan nasional terakhir terkait perubahan iklim, seperti kebijakan sektoral terkait, antara lain FOLU Net-sink 2030, percepatan penggunaan kendaraan listrik, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah seperti pemanfaatan sludge IPAL, serta peningkatan target pada sektor pertanian dan industri.
Nilai Ekonomi Karbon dalam pengaturan di Indonesia Perpres 98/2021 mengatur pelaksanaan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan lklim yang dilakukan melalui penyelenggaraan NEK untuk mencapai target NDC dan pengendalian emisi untuk pembangunan nasional.
Penyelenggaraan NEK dilakukan pada sektor dan sub sektor dengan pelaksana oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat, melalui 4 (empat) mekanisme yaitu: Perdagangan Karbon; Pembayaran Berbasis Kinerja, Pungutan atas Karbon; dan/atau Mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, adanya NEK dapat menjadi insentif untuk pencapaian NDC dengan mendukung upaya yang selama ini dilakukan seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energy baru dan terbarukan.
Perpres NEK ditujukan untuk pasar domestik maupun internasional. Apabila perdagangan karbon terjadi antara dua entitas di dalam negeri, maka perhitungan pengurangan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia. Adanya regulasi pasar karbon membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan yang lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim.
NEK merupakan ukuran kinerja dunia dalam pengelolaan perubahan iklim yang merefleksikan tingkat keberhasilan negara dalam mengendalikan perubahan iklim. Bagi Indonesia, NEK merupakan bagian dari kekayaan alam Indonesia yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan dikuasai oleh negara, sesuai dengan azas filosofis sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Sejalan dengan hal tersebut, antusiasme dunia internasional tertarik karena potensi karbon Indonesia, karena Indonesia salah satu negara yang memiliki hutan yang besar. Nature base kita memang sangat besar. Kita bekerja keras soal perdagangan karbon ini karena kita ingin memberikan kontribusi yang juga amat besar bukan saja bagi kepentingan nasional, tapi dunia internasional mengingat penurunan emisi global sangat penting.
Tantang Pemerintah
Percepatan Implementasi dan intesifikasi Perdagangan Karbon harus dilakukan dengan kolaborasi dengan berbagai K/L (Kementerian/Lembaga) terkait lainnya. Kementerian/Lembaga seperti Kemnko Marvest, Kementerian LHK, OJK, IDXCarbon serta BI untuk ditugaskan untuk mengawal program-program pemerintah, termasuk mengenai potensi perdagangan karbon.
Ada beberapa hal yang kami fokuskan, sebagaimana arahan Pemerintah .Pertama bahwa perdagangan karbon di Indonesia hendaknya mengacu kepada standar karbon internasional .Kedua harus ada target dan timeline, baik untuk pasar (karbon) dalam negeri maupun internasional.
Ketiga memfasilitasi terciptanya dunia usaha di bidang ekonomi hijau green job.Keempat pemanfaatan platform teknologi perdagangan karbon yang efektif dan efisien. Kelima, pentingnya pengaturan investasi karbon agar tidak mengganggu target emisi Nationally Determined Contribution (NDC).
Pemerintah menegaskan, kebijakan dan orientasi pembangunan Indonesia berpijak kepada ekonomi hijau atau green economy. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pemulihan lahan yang rusak, pencegahan deforestasi, perbaikan pemetaan lahan, hingga percepatan pengembangan ekosistem.
Sejalan dengan hal tersebut, Infrastruktur dari percepatan akselerasi pasar karbon di Indonesia dukung dengan upaya pemerintah memberikan pemahaman dari beberapa sector pelaku usaha untuk memberikan masukan dan potensi yang ada agar tata kelola pasar carbon dapat dijalankan dan memberikan masukan pendapatan kepada Negara. Karena, Potensi kredit karbon yang cukup besar di Indonesia juga membuat pemerintah mengamanatkan untuk memaksimalkannya.
Salah satu upaya akselerasi untuk mengejar target Net Zero Emission (NZE) di Indonesia pada 2060 atau lebih cepat. Dalam MoU tersebut berisikan intensi Kementerian ESDM dengan ENI terkait pengembangan bio-feedstuck untuk memproduksi biofuels, nature-based and technology-based carbon offset serta inisiatif lainnya terkait transisi energi dan dekarbonisasi, termasuk dan tidak terbatas pada program Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization and Storage dan efisiensi energi.
Maka, dari Pemerintah dan Kementerian/ Lembaga harus melakukan dan membuat satu tugas khusus dalam melakukan akselerasi dan kolaborasi untuk mempercepat potensi pasar karbon di Indonesia di tengan situasi ketidakpastian global dan ancaman geopolitik atas konflik yang terjadi beberapa Negara seperti Israel – Iran.(*)
*Penulis merupakan Founder Center of Economic and Law Studies Indonesia Society (CELSIS).
Note: Semua Isi dan Topik Artikel/Opini yang diterbitkan, merupakan tanggung jawab penulis (pemasang). Tidak Berkaitan/Mewakili Dengan Pandangan Redaksi SELAJUR.com.