Oleh: Yulita Andriani, Amd.Rad.(*)
PERCERAIAN TINGGI, Perselingkuhan Merebak. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (bps.go.id), dipaparkan bahwa untuk Kota Samarinda, jumlah perceraian ditahun 2023 sebanyak 1873. Lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 2048. Tetapi, tetap lebih tinggi daripada tahun 2021 yaitu 1816. Bisakah kita katakan melegakan karena mengalami penurunan?
Ternyata, bagai api dalam sekam. Ada 70 ribu kasus pengajuan perceraian sedang menumpuk berkasnya di pengadilan agama. Hal ini berdasarkan curhatnya seorang Perempuan yang ingin mengajukan perceraian. Tetapi, ditolak. Karena, masih serumah dengan suami. Disampaikan kepada beliau, bahwa saat ini, berkas pengajuan perceraian sedang menumpuk dengan jumlah tersebut.
Mayoritas pengajuan diajukan oleh para istri, terkait masalah ekonomi. Untuk kasus beliau di atas, pihak suami tidak memberi nafkah lahir maupun batin, pihak istri yang banting tulang padahal anak masih kecil-kecil, usia 2 tahun dan 4 tahun.
Dari tingginya kasus ini, seolah-olah keluarga Muslim tidak ada yang beres. Belum lagi alasannya mayoritas. Karena, masalah ekonomi. Belum lagi masalah perselingkuhan, yang merebak bagai wabah. Pelakunya hingga kalangan apparat negara, sebagaimana salah satu kasusnya yang terjadi di Samarinda April 2024 lalu.(Klausa.co, 2024)
Ada apa sebenarnya dengan keluarga Muslim saat ini? Benarkah sekedar masalah individu suami yang malas tidak mau memberi nafkah keluarga? Ataukah sekedar tidak takut dosa sehingga berani selingkuh diam-diam bahkan ada yang terang-terangan? Dan benarkah Islam tidak mampu menjadi solusi bagi permasalahan ini?
Dampak Sekulerisasi dan Liberalisasi Segala Lini Kehidupan
Kerusakan Keluarga Muslim Betul bahwa individu muslim dituntut untuk mampu menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, dan itulah wujud imtak alias iman dan takwa. Tapi, imtak ini butuh proses yang harus ‘disengaja’ dalam pembentukannya, tidak sekedar diserahkan ke orangtua, sekolah berbasis Islam, pesantren apalagi ke KUA.
Mengapa butuh proses yang disengaja ?
Karena membentuk keimanan seseorang, dibutuhkan proses berfikir, menggunakan akal, bukan sekedar perasaan an-sich. Oleh karena itu, jika ada yang mengatakan proses tidak akan mengkhianati hasil, itu memang sejalan dengan apa yang disebut Sunnatullah.
Berlaku sebab-akibat alias hukum kausalitas dalam hidup manusia. Dan ini dikuatkan dengan adanya penerapan syariat Islam yang diperintahkan Allah SWT agar manusia berjalan dalam hidup sesuai dengan jalur-Nya dan tidak menghasilkan kerusakan di darat dan dilautan.
Akan tetapi, apa jadinya, ketika pembentukan imtak ini hanya sebatas diserahkan keranah ibadah mahdhoh an-sich lagi, sedangkan yang dijadikan standar berbuat adalah sekulerisme.
Yaitu terjadi pemisahan urusan kehidupan dengan ibadah, Allah SWT sebagai Pencipta dianggap tidak ikut campur urusan mengatur hidup manusia. Maka manusia menjalankan hidup berdasarkan aturan manusia yang dianggapnya benar dan sesuai dengan keinginannya.
Alhasil, akhirnya kita dapati pada keluarga Muslim , baru tampak melaksanakan syariat Islam dalam urusan sholat, puasa, zakat, naik haji, nikah, cerai/talak, dan pengurusan jenazah. Tapi tidak tampak, syariat itu berlaku untuk seluruh kehidupan individunya yang mencakup ipoleksosbudhankam.
Maka, Pendidikan dalam keluarga pun berlandaskan pada akidah sekulerisme walaupun semua penghuninya adalah Muslim.
Ditambah lagi, karena negara tidak berlandaskan pada Islam maka segala aturan dan kebijakan justru bertentangan dengan syariat Islam. SDAE dijual ke swasta padahal haram hukumnya menyerahkan kepemilikan umum kepada swasta atau individua palagi yang sekedar ormas.
Hutang negara berlimpah untuk urusan infrastruktur yang ternyata tidak gratis bagi rakyat, bahkan rakyat dituntut untuk pemungutan pajak, tunjangan rumah dan asuransi. Air, Listrik, energi seperti gas, bensin, tidak gratis justru naik per tahun.
Pendidikan dan Kesehatan yang vital bagi pembentukan generasi justru kurikulumnya dibebaskan, tidak dibentuk keimanan itu dari akidah Islam tapi dari akidah sekulerisme, meniru negara-negara maju yang notabenenya adalah Kafir dan Sekuler.
Akhirnya, generasi yang terbentuk, yang tumbuh dewasa, adalah pribadi-pribadi yang gampang putus asa, seenaknya mengabaikan tanggungjawab, seenaknya dalam bergaul dan bersikap, banyak suami tinggalkan keluarga, banyak istri atau suami berselingkuh, banyak istri ajukan perceraian, banyak suami ajukan talak, banyak anak tidak Bahagia, KDRT dan pelecehan seksual, hingga perilaku LGBT.
Belum lagi negara terikat dengan Keputusan internasional untuk membuka keran investasi seluas-luasnya, perjanjian dagang yang mengharuskan menerima impor dari luar hingga mematikan pasar dalam negeri.
Hutang semakin besar, rakyat yang harus membayar, tujuh turunan tidak terbayar, tujuh turunan menanggung hutang negara.
Inilah dampak Sekulerisasi dan Liberalisasi disegala lini kehidupan. Masihkah berharap pada perubahan individu jika kerusakan sudah bersifat sistemik? [Klik Laman Selanjutnya –>]