SELAJUR.COM, JAKARTA – Saat ini Gelombang baru infeksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 kembali menyerang Negara Singapura.
Pemerintah Negeri Singa mengabarkan terjadi peningkatan kasus Corona hingga 90 persen.
Kementerian Kesehatan Singapura melaporkan bahwa terdapat 25.900 kasus infeksi COVId-19 periode 5 – 11 Mei 2024. Padahal di pekan sebelumnya ‘cuma’ 13.700 kasus. Masyarakat pun disarankan kembali memakai masker.
Saat ini kita ada di awal gelombang COVID-19,” kata Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung.
Ong mengungkap puncak kasus COVID-19 di Singapura bakal terjadi pada pertengahan hingga akhir Juni 2024.
“Puncak kasus gelombang ini terjadi dalam dua hingga empat pekan mendatang yang artinya antara pertengahan hingga akhir Juni,” kata Ong Ye Kung mengutip The Straits Time.
Peningkatan kasus juga membuat angka pasien COVID di negara tetangga naik dari yang tadinya rata-rata 181 menjadi 250 orang per minggu. Kabar sedikit melegakan dari Singapura adalah jumlah pasien COVID-19 yang masuk ICU terhitung rendah.
Dimana ada 3 kasus yang perlu dirawat di ICU, sementara pekan sebelumnya hanya 2, seperti mengutip Channel News Asia.
Mengingat COVID-19 adalah penyakit endemik yang artinya bakal terus ada meski kasus turun, maka gelombang-gelombang baru masih mungkin terjadi.
Lebih lanjut, Ong mengungkapkan bahwa Singapura sebagai pusat transportasi dan komunikasi membuat gelombang COVID-19 terjadi lebih awal dibandingkan wilayah lain.
“Jadi, COVID-19 hanyalah sesuatu yang harus kita jalani. Setiap tahun, kita akan menghadapi satu atau dua gelombang,” katanya.
KP.1 dan KP.2, Subvarian
Saat lonjakan COVID-19 terjadi, dua per tiga kasus infeksi di Singapura saat ini gegara subvarian KP.1 dan KP.2. Kedua strain tersebut masuk dalam kelompok varian COVID-19 yang dijuluki varian FLiRT oleh peneliti. Varian dalam FLiRT semuanya merupakan turunan dari varian JN.1, yang merupakan cabang dari varian Omicron.
Muncul kekhawatiran soal KP.1 dan KP.2 nyatanya tak ada bukti yang menyebut bahwa dua subvarian itu lebih menular dan lebih parah.
“Saat ini tidak ada indikasi baik global maupun lokal KP.1 dan KP.2 lebih mudah menular atau menyebabkan penyakit yang lebih para dibandingkan varian lain,” kata Kementerian Kesehatan Singapura menenangkan.
Hal senada juga disampaikan epidemiolog Dicky Budiman soal dua strain itu.
“KP.1 dan KP.2 itu tidak menular seperti zaman Delta, dan tidak menyebabkan kematian tinggi,” katanya dikutip ANTARA Jakarta, Sabtu (25/5/2024) siang.
Selain di Singapura, KP.2 juga tengah menjadi varian yang mendominasi penularan SARS-CoV-2 di Amerika Serikat. Sekitar 28 persen kasus di Negeri Paman Sam gegara KP.2.
KP.2 yang pertama kali terdeteksi di India pada awal Januari telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
Selain tiga negara itu, varian ini juga telah terdeteksi di negara lain, termasuk Tiongkok, Thailand, Australia, Selandia Baru, Inggris.
Menjadi subvarian yang mendominasi, para ahli kesehatan dari CDC Amerika Serikat dan Kementerian Kesehatan Singapura menyampaikan bahwa KP.2 ini tidak menunjukkan tingkat keparahan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan varian lain.
Hanya saja perbedaan kecil dalam protein puncak KP.2 memungkinkan varian ini untuk lebih mudah menghindari pertahanan kekebalan tubuh dan membuatnya sedikit lebih menular daripada varian JN.1 seperti disampaikan Professor Microbiology dan Immunolog dari Columbia University, David Ho melalui keterangan resminya.
KP.2 bahkan berpotensi menginfeksi orang yang telah menerima vaksin terbaru, karena vaksin tersebut dirancang untuk menargetkan XBB.1.5, varian yang berbeda dari JN.1.
“Varian ini bisa menghindari kekebalan yang diberikan oleh vaksinasi sebelumnya atau infeksi sebelum JN.1,” kata Dr. Leong Hoe Nam, seorang ahli penyakit menular di Klinik Rophi Singapura.
Leong Hoe Nam memprediksikan akan terjadi “peningkatan kecil” dalam kasus COVID-19 dalam beberapa minggu ke depan karena varian ini.
Namun, dia meyakinkan bahwa peningkatan ini akan “relatif kecil dibandingkan dengan JN.1”, karena infeksi JN.1 sebelumnya memberikan “perlindungan yang signifikan” terhadap KP.1 dan KP.2.
Meskipun risiko keparahan dan kematian akibat varian KP.1 dan KP.2 tergolong rendah, Dr. Fikadu Tafesse, seorang ahli virologi di Universitas Kesehatan & Sains Oregon, mengingatkan bahwa infeksi berulang dapat meningkatkan risiko komplikasi COVID-19 jangka panjang.
Dr. Leong menegaskan bahwa saat ini belum ada obat untuk COVID-19 jangka panjang, dan vaksinasi merupakan langkah penting untuk menghindari risiko komplikasi tersebut.
Perlukah Indonesia Khawatir ?
Kenaikan kasus COVID-19 di Singapura membuat sebagian masyarakat jadi kepikiran. Diketahui, varian KP yang terdeteksi di ASEAN tidak hanya bersirkulasi di Singapura saja, melainkan ada juga di Malaysia, Thailand dan Kamboja. Meski demikian, varian KP belum ditemukan di Indonesia.
“Sampai Mei 2024, kasus COVID-19 yang beredar di Indonesia didominasi oleh subvarian Omicron JN.1.1, JN.1, dan JN.1.39. Kalau subvarian KP, belum ditemukan,” ujar Juru Bicara Kemenkes RI dr Mohammad Syahril melalui keterangan tertulis, Rabu (22/5/2024) kemarin.
Meski saat ini, KP.1 dan KP.2 belum terdeteksi masuk Indonesia, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin berpendapat bakal masuk dalam waktu dekat. Hal ini terkait dengan traffic antara Indonesia – Singapura yang tinggi.
“Singapura tetangga ya dan traffic-nya antara Singapura dan Indonesia juga cukup tinggi, saya rasa sih pasti akan masuk ke Indonesia,” kata Menkes Budi di Gedung DPR RI pada Selasa (21/5/2024) lalu.
Meski begitu, Budi yakin bila strain tersebut masuk, angkanya tidak bakal terlalu mengkhawatirkan lantaran kebanyakan masyarakat Indonesia sudah memiliki imunitas.
Hal serupa juga disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, dr Siti Nadia Tarmizi.
Nadia juga mengungkapkan belum ada rencana untuk membatasi masuknya orang yang berasal dari Singapura ke Indonesia. Meski begitu, Kemenkes terus memonitor penyebaran infeksi kasus COVID-19.
“Nggak (red: tidak membatasi orang dari Singapura masuk Indonesia). Kita hanya jaga surveilans. Memonitor saja,” ungkapnya dalam keterangan resminya.
Situasi COVID-19 di Indonesia
Mengenai situasi COVID-19 di Indonesia hingga Mei 2024, kasus konfirmasi mengalami peningkatan pada minggu ke-18 tahun 2024 sebesar 11,76% dibandingkan minggu sebelumnya. Merujuk data GISAID Indonesia 2024, saat ini sebagian besar kasus masih didominasi varian JN.1.
Meski terjadi peningkatan kasus COVID, Syahril menekankan, hal itu tidak diikuti dengan peningkatan angka rawat inap (hospitalisasi) dan kematian.
Data Laporan Mingguan Nasional COVID-19 Kemenkes RI periode 12-18 Mei 2024 mencatat, terdapat 19 kasus konfirmasi, 44 kasus rawat ICU, dan 153 kasus rawat isolasi.
Tren positivity rate mingguan di angka 0,65% dan nol kematian. Tren orang yang dites per minggu mencapai 2.474 orang.
Belajar dari lonjakan kasus saat pandemi, Indonesia telah memiliki strategi dalam penanggulangan COVID-19, yaitu mengintensifkan kapasitas mencakup manajemen klinis, surveilans, imunisasi, promosi kesehatan dan sebagainya.
“Upaya yang telah disiapkan adalah rumah sakit sudah memiliki peringatan dini (early warning) dalam konversi tempat tidur, adanya tenaga cadangan, kesiapan perbekalan kesehatan seperti oksigen, obat-obatan serta vaksinasi, terutama bagi kelompok berisiko,” kata Juru Bicara Syahril.
Kemenkes terus memantau pola penyebaran penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB), termasuk COVID-19. Saat ini, sudah terbentuk jejaring pada lebih 15.000 fasilitas kesehatan, laboratorium, dan Balai Kekarantinaan Kesehatan (BKK) di seluruh Indonesia untuk memantau penyebaran penyakit potensial tersebut.
“Selain itu, integrasi surveilans influenza dan COVID-19 sudah dilakukan sesuai dengan rekomendasi global. Rumah sakit-rumah sakit di Indonesia sudah siap jika memang ada potensi peningkatan kasus,” terang Syahril.
“Ini terus kami pantau melalui laporan Bed Occupation Rate (BOR) ruang isolasi dan/atau ICU, baik itu secara harian/mingguan.”
Belum Ada Urgensi Pembatasan Perjalanan
Mengenai pembatasan perjalanan terkait peningkatan kasus COVID-19 akibat varian KP.1 dan KP.2 di Singapura, Mohammad Syahril menegaskan, belum ada urgensi melakukan langkah tersebut. Hal ini sebagaimana laporan yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan Singapura.
“Menurut informasi yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan Singapura, berdasarkan penilaian risiko yang ada saat ini, belum ada urgensi untuk melakukan pembatasan perjalanan dari atau ke Singapura,” tegasnya.
“Situasi transmisi COVID-19 masih terkendali. Jadi, sekarang ini belum memerlukan pembatasan mobilitas dan aktivitas masyarakat meskipun ada lonjakan kasus.”
Bagi masyarakat yang hendak bepergian keluar daerah atau keluar negeri diimbau dapat mengikuti protokol kesehatan yang diterapkan di wilayah yang dituju.
“Kami selalu menyampaikan di media-media publikasi Kemenkes, bahwa COVID-19 belum hilang, dan kita harus belajar untuk hidup bersama dengan COVID-19,” tandas Syahril.
[ANT/SET]
Sumber: Liputan6 dan ANTARA.