Scroll untuk baca artikel
DaerahHukum & Peristiwa

Koalisi Kemerdekaan Pers Kaltim Lancarkan Aksi Protes Tolak RUU Penyiaran

68
×

Koalisi Kemerdekaan Pers Kaltim Lancarkan Aksi Protes Tolak RUU Penyiaran

Sebarkan artikel ini

Bungkam Demokrasi Indonesia

Ket: Ratusan Jurnalis Samarinda menggeruduk DPRD Provinsi Kaltim menyampaikan aksi protes terhadap RUU Penyiaran.(Syahrul Mubarok/SELAJUR)

SELAJUR.COM, SAMARINDA – Ratusan Jurnalis Samarinda tergabung dalam Koalisi Kemerdekaan Pers Kalimantan Timur (Kaltim), berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran di depan kantor DPRD Provinsi Kaltim, pada Rabu (29/5/2024) siang.

Terlihat, sejumlah jurnalis berbondong-bondong, membawa atribut spanduk dan poster yang berisikan penolakan terhadap RUU Penyiaran.

Di antaranya seperti ‘Ketika Media Kau Bungkam, Hanya ada Satu Kata, Lawan !‘ dan ‘Kalau Pers di Bungkam kapan Korban Kekerasan Seksual Dapat Keadilan‘.

Tak tanggung-tanggung, mereka juga meletakkan kartu identitas pers sebagai bentuk penolakan terhadap RUU tersebut.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda, Nofiyatul Chalimah menjelaskan, bahwa munculnya revisi RUU Penyiaran ini, memberikan ancaman bagi keberlangsungan demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Ia menyoroti, terdapat pasal ‘karet’ yang diklaim, dapat digunakan sebagai alat kepentingan kekuasaan. Untuk membungkam kebebasan berekspresi dan partisipasi publik untuk negara. Yakni, pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik.

“Dalam lingkup pemberantasan korupsi, produk jurnalistik kerap menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan tindakan pejabat publik,” kata Nofi saat diwawancarai usai aksi.

Dalam pernyataan sikapnya, para jurnalis menegaskan menolak pasal dan RUU Penyiaran yang memberikan wewenang berlebihan kepada pemerintah untuk mengontrol konten siaran.

Ketentuan ini dianggap berpotensi digunakan untuk menyensor dan menghalangi penyampaian informasi yang objektif dan kritis.

“Maka dari itu, kita bersolidaritas. Melawan dari Kalimantan Timur,” seru Nofi.

Setidaknya ada delapan catatan koalisi masyarakat sipil terkait draft yang dinilai kontroversial dan harus ditolak.

Pertama, RUU Penyiaran menambah daftar panjang regulasi yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Dalam beberapa waktu belakang, tidak sedikit regulasi yang diubah justru tidak sejalan dengan prinsip gerakan demokrasi, HAM, antikorupsi, hingga penyelamatan sumber daya alam.

BACA JUGA:  Wabup Kukar Ajak Masyarakat Sholawat Bareng di 'Pesisir Bersholawat 2024'

Seperti revisi UU KPK, UU Pemasyarakatan, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Adanya norma yang membatasi konten investigatif tersebut justru berpotensi semakin menghambat kerja-kerja masyarakat sipil.

Kedua, bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip Good Governance.

Karena karya liputan investigasi merupakan salah satu bentuk paling efektif yang dihasilkan dari partisipasi publik dalam memberikan informasi dugaan pelanggaran kejahatan atau kebijakan publik kepada jurnalis. Produk jurnalisme investigasi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis.

Ketiga, konten jurnalistik investigatif jadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup pluit (whistleblower).

Dalam konteks pemberantasan korupsi maupun gerakan masyarakat sipil, tidak sedikit kasus yang terungkap berasal dari informasi publik yang diinvestigasi oleh jurnalis.

Meski ada beberapa kanal whistleblower, namun masyarakat cenderung lebih percaya pada para jurnalis maupun inisiatif kolaborasi investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, seperti Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan IndonesiaLeaks yang juga jadi bentuk pengawasan terhadap kebijakan maupun pejabat publik.

Keempat, pembatasan liputan eksklusif investigasi jurnalistik akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi. Hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum dałam proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi.

Data dan Informasi mendalam yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas peristiwa dugaan kasus korupsi maupun pelanggaran lainnya.

Selain itu, dalam konteks penuntasan kasus korupsi, liputan investigatif kerap kali bisa membongkar aspek yang tidak terpantau, sehingga jadi trigger bagi penegak hukum menuntaskan perkara.

Kelima, SIS dalam RUU Penyiaran soal liputan investigasi dapat menghambat pencegahan korupsi. Karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekadar pemberitaan. Tapi lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik.

BACA JUGA:  Dendam Lantaran Sering Diejek, Pria Asal Bontang Tega Bunuh Kakak Kandung Sendiri

Sebab, hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan korupsi. Tak hanya itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan semakin takut karena khawatir tindakannya terbongkar.

Keenam, ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan regulasi lain khususnya yang menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers.

Ketentuan dalam RUU Penyiaran bertentangan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Ketujuh, RUU Penyiaran membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media. Dengan larangan penyajian eksklusif laporan jurnalistik investigatif maka pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan (watchdog).

Kedelapan, ketentuan dalam RUU Penyiaran merupakan bentuk ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia. Ini karena jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi– untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis.

Dalam aksinya tersebut, belum ada tanggapan dari pihak Anggota DPRD Kaltim. Untuk menemui massa aksi. Hingga demonstrasi berbondong-bondong meninggalkan lokasi unjuk rasa, pada pukul 13.00 Wita.

Diketahui, pernyataan sikap tersebut dilontarkan langsung oleh sejumlah organisasi wartawan di Kaltim. Yakni, AJI Kota Samarinda, PWI Kaltim, IJTI Kaltim, JMSI Kaltim. Kemudian, dari kalangan mahasiswa seperti LPM Sketsa, Ujur Polnes, BEM FISIP Unmul, Perempuan Mahardika.

[SET/RED]

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!