SELAJUR.COM, SAMARINDA – Pembangunan di Samarinda dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan komitmen pemerintah daerah untuk mewujudkan visi kota sebagai pusat peradaban.
Berbagai proyek infrastruktur, seperti peningkatan kualitas jalan, pengendalian banjir, jembatan, dan ruang publik terus digarap.
Salah satu proyek besar yang sedang berjalan adalah proyek Terowongan Samarinda. Proyek ini disebut sebagai solusi kemacetan dan peningkatan konektivitas di Kota Samarinda.
Namun, proyek ini menghadapi masalah besar terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang belum rampung.
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.
Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.
Sesuai regulasi, Amdal harus diselesaikan sebelum dimulainya proyek untuk mengantisipasi dan mitigasi dampak lingkungan yang mungkin terjadi.
Ini menunjukkan buruknya koordinasi dan perencanaan di tingkat pemerintah. Proyek besar seperti Terowongan Samarinda seharusnya melalui kajian dan perencanaan matang, melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat.
Revisi berulang kali menunjukkan ketidakmatangan dan ketidaksiapan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
Kelalaian tersebut tidak hanya merugikan proses pembangunan tetapi juga berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat berhak mendapatkan kepastian bahwa proyek-proyek besar dijalankan dengan benar, sesuai aturan, dan mengedepankan aspek lingkungan dan sosial.
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah),” ujar Rahmad Danan dalam pers rilis.
Polemik Amdal Terowongan Samarinda harus menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki tata kelola pembangunan di Samarinda.
“Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah),” tuturnya.
Banyak kritik yang selalu menjadi catatan buruk bagi pemerintah kota Samarinda, mulai dari proyek yang tidak tepat waktu, pengawasan yang kurang ketat, hingga ketidaksiapan pemerintah Kota Samarinda dalam menangani persoalan mendasar.
“Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah),” ungkapnya.
LBH PC PMII Samarinda sebagai bagian dari masyarakat Kota Samarinda akan turut serta mengawasi setiap persoalan dan melakukan pendampingan agar pemerintah selalu berorientasi pada kemaslahatan masyarakat ketimbang kepentingan korporat.
[SET/RED]