Penulis : Sri Andini, S.Ag.(*)
HILANGNYA PEREDARAN gas di masyarakat mencuat beberapa pekan belakangan ini. Membuat, masyarakat resah dan gelisah, mencari hilang-nya melon dari peredaran. Menyulitkan kaum emak – emak, untuk memasak.
Karena, gas tidak ada, mencari kesana kemari si melon dengan biaya yang tidak sedikit naik gojek, naik angkot, yang pakai motor mengunakan bensin sampai dipangkalan pemasok gas mengantri lagi, tanpa menghiraukan hujan. Panas sampai di depan antrian ternyata gasnya habis bisa dibayangkan bagaimana kecewanya mereka ? Mau marah bingung kesiapa untuk melampiaskan kemarahan.
Akhirnya, kembali lagi masyarakat harus menelan pil pahit kehidupan korban dari kebijakan yang salah, lagi-lagi rakyat kecil yang jadi korban.
Bagaimana hati nurani para penguasa melihat fenomena ini sampai-sampai ada nenek-nenek yang meregang nyawa saat mengantri si melon, apa kesalahan rakyat kecil sampai dihukum sedemikian, naas Nasib rakyat kecil. Yang selalu jadi korban kebijakan yang tidak memihak ke rakyat kecil.
Mengapa Gas Melon (LPG) Hilang dari Peredaran ?
LPG dikeluhkan langka di berbagai tempat. Hal itu terkait dengan perubahan sistem distribusi LPG yang mewajibkan pengecer beralih menjadi pangkalan resmi untuk bisa mendapatkan stok gas melon untuk dijual.
Perubahan tersebut adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena salah satu sifat sistem ini adalah memudahkan para pemilik modal besar untuk menguasai pasar dari bahan baku hingga bahan jadi.
Sistem ini juga meniscayakan adanya liberalisasi (migas) dengan memberi jalan bagi korporasi mengelola SDA yang sejatinya milik rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas ini pada perorangan/perusahaan.
Bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
Sesungguhnya, jika kita cermati, tampak bahwa mekanisme pengelolaan migas dengan mempercayakan kepada pihak swasta ataupun asing.
Mengenai pengelolaan migas di Indonesia, pemerintah dalam kebijakannya memperbolehkan swasta atau individu untuk mengelolanya. Karena, dianutnya paradigma kapitalis yang membeikan kebebasan pada individu. Untuk, eksploitasi alam sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas.
Ini terlihat dari diberlakukannya Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang dalam perkembangannya mengalami dinamisasi.
Mekanisme pengelolaan sumber daya Migas dengan mempercayakan kepada pihak asing. Ternyata, telah membuat pemerintah kurang punya wewenang dalam kontrol dan regulasi.
Selain itu, pengelolaan sumber daya migas terkesan eksploitatif, tidak ramah lingkungan, dan tidak manusiawi.
Dampak Pengelolaan Sumber Daya Alam Tidak Dikelola Negara
Pertama, meniadakan kontrol dan regulasi dari pemerintah, tetapi sebaliknya dominasi asing lebih menonjol. Kontrol dari luar negeri dapat berasal dari pemerintah investor asing atau badan Internasional, misalnya IMF dan World Bank.
Kedua, dapat menghabiskan atau menguras sumber daya alam. Penanam modal biasanya mengadakan kontrak sesuai dengan jumlah cadangan (deposit) di bawah tanah. Dengan demikian setelah kontrak sumber daya alam terkuras habis.
Kalaupun masa kontrak telah habis sedangkan cadangan masih ada, maka dilakukan perpanjangan kontrak, sebagaimana yang terjadi pada eksplorasi blok Cepu, di mana kontrak habis pada tahun 2010 kemudian diperpanjang sampai tahun 2030.
Ketiga, adanya biaya yang harus ditanggung atau dibayar oleh pemerintah setelah proyek beroperasi. Biaya tersebut adalah recovery cost, yaitu biaya yang khusus dibelanjakan oleh pihak investor untuk eksplorasi.
Secara spesifik ciri ajaran kapitalis dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Individu diberi kebebasan untuk ekspansi kekayaan, memaksimalkan produksi, dan memenuhi kebutuhan.
2. Individu diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan diri dan kepemilikan dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting bagi inisiatif individu.
3. Tidak mengakui pentingnya regulasi pemerintah atau penilaian kolektif baik dalam efisiensi alokatif maupun pemerataan distributif
4. Inisiatif individu dan pembuatan keputusan secara terdesentralisasi dalam suatu pasar kompetitif adalah syarat utama untuk mewujudkan efisiensi optimum dalam alokasi sumber daya.
5. Melayani kepentingan diri sendiri (self interest) oleh setiap individu dianggap secara otomatis melayani kepentingan sosial kolektif.