“Saya heran juga, pajak naik, harga-harga sembako naik, BBM apalagi. Tidak ada yang turun gitu loh. BBM ini kan kayak air dan listrik jatuhnya, merupakan bagian kebutuhan dasar publikā. (Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo)
SELAJUR.COM, SAMARINDA – Polemik isu penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite bertranformasi ke Bioetanol menjadi buah bibir perbincangan. Hal tersebut membuat berbagai kalangan memberikan kritikan. Tak terkecuali Akademisi sekaligus Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo.
Ia memberikan pendapat atas keputusan Pemerintah yang dinilai tergesa-gesa. Pasalnya, bahan bakar yang akan menggantikan Pertalite menuai pro dan kontra.
Seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan. Dia menilai, selain untuk menekan angka penggunaan bahan bakar fosil, Bioetanol diyakini dapat menjadi alternatif pengurangan polusi udara.
Diketahui, berdasarkan informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), telah menetapkan Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis Bioetanol per Bulan Mei 2024 sebesar Rp14.528 per liter.
Tak hanya itu, harga BBM non subsidi, pun kini berada diangka yang lumayan mahal untuk per liternya. Diantaranya, Pertalite Rp. 10.000, Pertamax Rp 13.500 per liter. Pertamax Turbo Rp 14.750 per liter, Dexlite Rp 14.900 per liter, dan Pertamax Dex Rp 15.450.
Mengomentari kebijakan tersebut, Ia mengungkapkan, peralihan BBM tidak ada bedanya dengan kenaikan harga.
“Beda tipislah dengan merubah harga. Karena sama aja dengan kenaikan harga seperti yang sebelumnya. Cuma berkedok dengan produk yang baru yang sedikit berbeda dengan BBM lain. Kan konsepnya di bawahnya pertamax tapi diatasnya Pertalite kan begitu,” ungkapnya saat dihubungi via telepon, Rabu (8/4/2024) sore.
Menurutnya, jika BBM Beoetanol diberlakukan di Kaltim, maka akan menciptakan kepanikan dikalangan masyarakat. Pasalnya, kemungkinan itu tercipta, dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang masih dalam tahap membangun bukan membesarkan.
“Menurut saya, ini momennya sekarang kurang tepat. Kenapa? karena pertumbuhan ekonomi kita masih di angka yang belum maksimal. Yang tumbuh kan, usaha yang besar-besar. Sedangkan yang kecil ke bawah masih banyak yang belum tumbuh,” jelasnya.
Purwadi bilang, daya beli masyarakat Kaltim terhadap Pertalite relatif tinggi. Jika melihat harga Bioetanol yang sedikit lebih tinggi dari Pertamax, maka sudah dipastikan peralihan Bioetanol akan memberikan kesulitan tersendiri bagi rakyat daerah berjulukan Benua Etam itu.
Banyak faktor dikatakannya, Kaltim belum memiliki kesiapan menerapkan Bioetanol. Seperti tingkat infalsi yang masih tinggi dan angka kemiskinan yang ekstrem. Tak hanya itu, penolakan CPO di Eropa pun mestinya menjadi pertimbangan Pemerintah saat ini.
“Kalau Kaltim laporan kemiskinannya 6%, itu karena banyak dinikmati oleh investastor dari luar Kaltim, kelapa sawit, batu bara. Kaltim ini kan kerukan sumber daya alam aja, tapi yang punya bukan orang Kaltim,” katanya.
“Buktinya kemiskinan kita masih 6%. Padahal penduduk kita cuma sedikit, yang banyak pendatang. Kalau bisa ditunda dululah Bioetanol itu. Apalagi sawit kita sedang bermasalah di Eropa kan itu ditolak,” tambahnya lagi.
Kata dia, saat ini Kaltim sedang dihadapi persoalan ekonomi yang mestinya dirampungkan oleh Pemerintah. Bukan malah menambah beban masyarakat, dengan dalih pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia.
“Saya heran juga, pajak naik, harga-harga sembako naik, BBM apalagi. Tidak ada yang turun gitu loh. BBM ini kan kayak air dan listrik jatuhnya, merupakan bagian kebutuhan dasar publik,” terangnya.
Purwandi pun menegaskan, rencana penerapan Bioetanol menggantikan Pertalite terlalu terburu-buru. Oleh karenanya, ia pun berharap, Pemerintah dapat mengkaji ulang setiap rinci keadaan Negara. Bukan hanya efek pengurangan polusi, melainkan tingkat inflasi setiap daerah, pertumbuhan ekonomi jalur luar dan dalam, serta kesejahteraan masyarakat.
“Ini yang menjadi tanggung jawab negara harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan terjangkau harganya kan begitu. Bukan sebaliknya untuk kepentingan lain,” pungkasnya.
[RUL/RED]