SELAJUR.COM, SAMARINDA – Polemik kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim), hingga saat ini belum menemukan titik terang. Alhasil, memberikan dampak secara signifikan bagi siklus kehidupan masyarakat setempat. Terbaru, kasus eks tambang, lagi-lagi merenggut korban jiwa. Yakni, dua bocah kakak-beradik.
Peristiwa tersebut terjadi di Jalan Lobang Tiga Kelurahan Loa Bakung, Kecamatan Sungai Kunjang, beberapa waktu lalu. Menanggapi hal itu, Akademisi dan Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Purwadi Purwoharsojo pun angkat suara.
Diketahui, belum lama ini telah terjadi dua aksi demonstrasi yang terjadi di depan Mako Polda Kaltim Balikpapan dan Mapolresta Samarinda. Terlebih, keduanya mengantongi tuntutan serupa, yakni persoalan aktifitas tambang ilegal yang ada di Kaltim.
Aktivitas tambang ilegal terus menjadi masalah serius di berbagai titik yang ada di Kaltim. Tanpa adanya pengawasan dan izin resmi, kegiatan tambang ilegal itu dinilai telah mengakibatkan kerugian yang signifikan, baik dari segi lingkungan, ekonomi, maupun sosial.
Purwadi mengatakan, tambang ilegal kini menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar hingga triliunan rupiah setiap tahunnya. Sebab, Negara akan kehilangan potensi pendapatan dari pajak dan retribusi yang seharusnya diterima dari tambang resmi. Hal ini tentunya, akan menghambat pembangunan yang memerlukan dana besar. Baik nasional maupun daerah.
“Dalam sebuah FGD, saya pernah ikut, dan Jatam presentasikan temuan risetnya. Ternyata modalnya tambang ilegal itu Rp 150 juta. Dan hasil kerokannya itu mencapai Rp 850 juta sampai 1 M,” ungkapnya Purwadi dikonfirmasi wartawan SELAJUR.com via WhatsApp, Rabu (22/5/2024) sore.
Ia menjelaskan, jika praktik tambang ilegal tak berhenti, akan menimbulkan dua masalah besar. Yakni, underground economy dan black market.
Underground economy terjadi disebabkan, penghasilan yang didapat dari kegiatan ekonomi, namun tidak terekam atau tidak tercatat pada otoritas pajak dengan maksud untuk menghindari beban pajak
“Kerugian ekonomi yang timbul karena terjadi adanya lembar pelaporan yang tidak terlapor ke negara. Nilai akhir tambang ilegal itu kan tidak lapor ke negara,” jelasnya
Kemudian, Black Market yang merupakan aktivitas ekonomi yang terjadi di luar jalur yang disetujui pemerintah.
“Pertanyaan berikutnya, siapa yang membeli hasil kerukan tambang ilegal yang kemudian dijual ekspor. Ekspor itu harus ada surat dan dokumen lengkap,” bebernya.
“Pasar gelap itu saling terkait. Ketika pasar gelap besar, underground economy juga akan tumbuh besar. Ketika itu dibiarkan maka akan menjadi kerusakan ekonomi maupun kerusakan lingkungan,” tambahnya.
Purwadi pun mencontohkan kasus kerugian tambang timah di Bangka Belitung yang mencapai Rp 271 Triliun. Pun juga Pasar Gelap Batam yang merugikan dari Rp 2 – 3 Triliun pertahunnya.
“Bangka Belitung itu kan salah satu case ketika dihitung oleh Profesor dari IPB kerugian ekologinya mencapai Ro 271 Triliun. Bukan main besarnya. Kemudian juga barang-barang mewah dari Batam itu kan barang gelap. Barang mahal tanpa garansi seluduan, tidak ada pajak impor,” urainya Purwadi.
Pengamat itu pun merasa bersimpati kepada publik yang tidak mampu menghadapi kasus-kasus tersebut. Sebab, dampak tambang terus merambat hingga masyarakat bawah.
“Tuh dilakukan pembiaran Kasihan anak cucu,” keluh Purwadi.
“Kalau tidak dibereskan oleh Pemerintah kasihan rakyat. Rakyat kita ini sudah banyak tanggungannya. Sembako tidak pernah turun, pajak. Apalagi pertumbuhan ekonomi yang janjinya 7% masih 5%. PHK dimana-mana,” lanjutnya.
Purwadi bilang, kerugian ekonomi saat ini merupakan tanggung jawab Pemerintah. Baik eksekutif maupun legislatif. Menurutnya, kasus tambang ilegal di Kaltim mestinya menjadi isu nasional yang mesti jadi perhatian.
“Ini PR besar. Jadi itu tantangan lah buat calon Kepala Daerah ke depan. Bupati, Walikota, Gubernur, DPRD. Ini kan menjadi tanggung jawab Pemerintah, bagaimana mereka mendobrak agar menjadi suara Isu nasional,” terangnya.
“Pejabat negara itu mewakili suara publik yang harusnya di perjuangkan dengan keadilan agar ekonomi jalan tapi tidak merugikan. Kalau tidak bisa menyelesaikan, tidak clear juga. Tidak ada bedanya sama yang lalu, itu hanya sekedar simbolis dengan potong pita,” pungkasnya.
[RUL/SET/RED]