Oleh : Topan Setiawan, S.Sos.(*)
“Saya Tekankan Sebelum Membaca Essay ini. Tulisan Ini, Pasti Berisik. Jadi ulasannya panjang. Misal lelah (Malas) membaca. Lebih baik di skip aja”.
===============••============
Kaidah “Al-Muhafadhotu ‘ala Qodimis Sholih Wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah“ (Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik). Selalu, kita lambungkan tinggi pemaknaannya.
Bagi, saya pribadi. Opini ini, didedikasikan sebagai pikiran saya yang cukup berisik. Melihat persoalan egosentris, balas dendam, kebingungan, kecemburuan, matahari kembar, saling sikut dan memblokade relasi antar kader.
Mari sejenak, kita kembali kepada pemaknaan ideologi dan sudut pandang kita sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Lewat, coretan tak berarti dari kami.
Kita awali diskusi ini lewat Kaidah ini: Al-Muhafadhotu ‘ala Qodimis Sholih Wal Akhdzu Bil Jadidil Ashlah.
PMII dan Relevansi Kaidah
Adalah salah satu manhaj al-fikr (metodologi berpikir) utama dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), yang secara inheren. Saya ulas juga menjadi bagian integral dari ideologi PMII.
Kaidah ini adalah inti dari sikap moderasi dan adaptasi yang menjadi ciri khas Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah) An-Nahdliyah.
Bagi PMII, kaidah ini bukan sekedar slogan, melainkan pedoman praktis dalam menghadapi dinamika sosial, ilmu pengetahuan, dan pergerakan. Itu menurut saya.
Memelihara yang Lama yang Baik (Al-Muhafadhotu ‘ala Qodimis Sholih)
Bagian pertama dari kaidah ini, saya menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan warisanyang terbukti baik, relevan, dan membawa kemaslahatan.
Halaman Selanjutnya>>