SELAJUR.COM, SAMARINDA – Kasus kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 2019 silam, Meninggalkan tragedi kelam di kanca demokrasi tanah air. Hal tersebut mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Terkhusus, Kalimantan Timur (Kaltim).
Diketahui, berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tahun 2019, melalui rekapitulasi Dinas Kesehatan di tiap provinsi, mencatat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit sudah mencapai 11.239 orang dan korban meninggal 894 jiwa.
Beban kerja selama Pemilu 2019, menjadi salah satu faktor penyebab besarnya jumlah petugas mengalami kondisi yang tidak diduga-duga sebelumnya.
Provinsi Jawa Barat pun menjadi wilayah, dengan potensi paling banyak memakan korban tertinggi kala itu. Lantas, bagaimana dengan Kaltim, terkhusus ibukota berjulukan Kota Tepian. Samarinda ?
Angka Korban Jiwa Paling Sedikit
Ditemui wartawan media ini, Ketua KPU Kota Samarinda, Firman Hidayat menjelaskan, tragedi tersebut juga diklaim, dialami oleh petugas KPPS Samarinda. Hanya saja, sebagai kontributor, petugas pemungutan suara di Samarinda tergolong paling sedikit. Dengan, jumlah angka korban jiwa yang ada di kepulauan Jawa.
“Ada 8 orang yang terverifikasi oleh kami, sehingga ini menjadi bagian mitigasi KPU Kota untuk mencegah kejadian tahun lalu saat Pilpres (2019),” jelasnya Firman saat ditemui media ini, Selasa (9/1/2024) pagi.
Firman bilang, sebagai refleksi kejadian tersebut, sesuai arahan pusat, pihaknya menekankan pada pembatasan umur. Yakni anggota KPPS yang mendaftar umurnya hanya diperuntukkan berkisar 17-55 tahun. Dan sedang dalam kondisi yang sehat jasmani dan rohani.
Petugas KPPS Harus Sehat Jasmani
“KPU itu menghindari anggota yang memiliki penyakit komorbid/bawaan atau akut,” imbuhnya.
Terlebih menurutnya, anggota KPPS umur 35-55 memiliki peran sebagai mentor untuk anggota yang lebih muda. Sehingga, dalam pengerjaan rekapitulasi suara nantinya akan bertumpu pada pemuda, namun tidak menjadikan fokus utamanya.
“Ini sebagai bagian dari motivasi pemuda di KPU dan juga KPPS untuk belajar,” bebernya.
Selain itu, guna menjaga kesehatan anggota KPPS saat pemilihan 2024, ia menuturkan, saat pemungutan dan penghitungan suara akan menerapkan 1 panel dan menggunakan Aplikasi Sistem Infomasi Rekapitulasi (Sirekap).
“Nanti kita kan pakai Aplikasi Sirekap, itu untuk mempercepat jam kerjanya. Apalagi kita sudah di fasilitasi yang memudahkan, contoh kecil saja, kita diberikan printer all in one, yang bisa memindai, mencetak, menyalin, jadi gak perlu satu-satu, terlebih kita pake sistem 1 panel” tambahnya.
Bawaslu 55 Tahun, KPU 50 Tahun
Kemudian, media ini terus melakukan penelurusan. Dan mengunjungi, Komisioner Bawaslu Samarinda Imam Sutanto. Bahkan, ia juga membenarkan kejadian yang telah dialami petugas Pemilu tahun lalu.
“Dulu juga ada korban tapi tidak banyak, makanya sistem rekrutmen itu sekarang dibatasi. Kalau Bawaslu itu maksimal 55 tahun, sedangkan KPU itu 50 tahun,” jelasnya.
Kata Imam, antisipasi yang paling memungkinkan untuk peristiwa tahun lalu terjadi lagi. Yakni dengan menyeleksi secarar ketat terhadap kondisi kesehatan dalam tubuh petugas Pemilu.
“Antisipasi dari kita saat ngawas, kita bakal minta hasil kesehatannya, karena data kesehatan itu wajib terpenuhi, apalagi yang tau kondisi tubuh kita ya kita sendiri,” katanya.
Ia pun berharap, baik anggota Bawaslu maupun KPU, untuk tetap memperhatikan kondisi kesehatan tubuh, meskipun sedang dalam kondisi bekerja.
Peran KPU dan Bawaslu Harus Diperketat
Dihubungi terpisah, Akademisi Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Warkhatun Najidah, selain dari tes kesehatan, perlu adanya sistem yang mesti diterapkan oleh KPU dan Bawaslu.
“KPU harus memiliki sistem untuk bagaimana mencegah keributan-keributan. Sehingga itu memperlama masa KPPS bertugas, itu yang dikhawatirkan,” jelasnya Najidah.
Berdasarkan peraturan KPU tahun 2023, baik pemungutan maupun penghitungan suara, hal tersebut telah diatur agar proses rekapitulasi bisa secara cepat dihitung.
“Yang dikhawatirkan adalah akibat dari panjangnya masa untuk penghitungan suara. Tentunya hal ini harus diantisipasi baik oleh KPU maupun oleh Bawaslu,” bebernya.
Menurutnya, kesehatan anggota KPPS itu sudah mesti hal yang penting untuk diprioritaskan. Pasalnya, dengan alur pemungutan suara yang baik dan dengan SDM yang mumpuni. Dinilai, dapat menjadi upaya efektif meminimalisir kinerja yang berlebihan.
“Bukan hanya orang itu aja persiapannya, tapi bagaimana SDM yang ada di situ sudah dilakukan pelatihan yang serius. Jadi KPU itu menilai apakah dia serius atau tidak?,” tegasnya.
Ia berpendapat, KPU dan Bawaslu memiliki peran vital menjaga setiap kondisi TPS yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan. Termasuk salah satunya keributan penonton, pengawas, dan saksi partai.
“Yang berada dalam kotak suara itu. Nah itu menimbulkan pasti akan menghadirkan situasi-situasi yang memunculkan tekanan-tekanan terhadap anggota. Kadang-kadang seseorang yang memiliki tingkat kesehatan tertentu itu bisa berubah sewaktu-waktu akibat kondisi sekitar,” ungkapnya Najidah.
Ia pun berharap, KPU dan Bawaslu yang merupakan pelaksana dapat lebih memperhatikan dan mengatur hal-hal rumit seperti kondisi forum, jam kerja, dan meminimalisir tekanan yang diberikan.
“Ketika ada kejadian hal-hal yang itu bisa menghambat perhitungan suara pemungutan suara, mereka itu harus mumpuni, cepat dalam menyelesaikan masalah. Jika tidak akan menyebabkan waktu yang lebih. Harus ada peraturan bagaimana TPS itu bisa tidak terdapat gangguan ataupun keramaian yang terlalu,” pungkasnya.
[SET]