SELAJUR.COM, Samarinda – Ketua Komisi I DPRD Samarinda, Samri Shaputra, menegaskan bahwa penyelesaian konflik lahan di Polder Hairitam bergantung pada penentuan titik koordinat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Hal ini menyusul klaim dari tujuh warga yang mengaku belum menerima ganti rugi atas tanah yang kini telah dibangun menjadi gedung anggar atau taekwondo.
“Pemerintah kota merasa seluruh lahan sudah dibebaskan sejak 2013. Tapi belakangan muncul klaim dari masyarakat yang mengatakan tanah mereka belum dibayar. Maka, kita harus pastikan dulu letak lahannya,” kata Samri dalam keterangannya, Kamis (13/2/2025).
Menurutnya, masalah ini bisa saja disebabkan oleh kesalahan pembayaran di masa lalu, di mana pemerintah kota mungkin telah mengganti rugi kepada pemilik pertama tanpa mengetahui bahwa tanah tersebut sudah dijual ke pihak lain.
“Kita tidak ingin pemerintah kota membayar lagi tanpa kejelasan. Kalau ini dibiarkan, nanti muncul lagi klaim baru dengan surat berbeda. Karena itu, koordinat harus ditentukan dulu oleh BPN,” jelasnya.
Selain konflik di Polder Hairitam, Samri juga menyoroti dua masalah lain, yaitu lahan yang diklaim sebagai tanah transmigrasi serta rencana pengadaan lahan untuk pemakaman umum di setiap kecamatan.
Untuk lahan transmigrasi, warga mengaku tidak bisa mengurus sertifikat sejak 2003 karena adanya surat dari Kementerian Transmigrasi ke BPN yang memblokir proses tersebut.
DPRD akan menggelar rapat lanjutan setelah pemilik lahan memenuhi persyaratan administratif.
“Kami di DPRD sebagai fasilitator. Kami ingin masyarakat mendapatkan haknya, tetapi harus jelas datanya agar tidak ada pihak yang dirugikan,” tutup Samri.
[ADV/RED/ALI]