SELAJUR.COM, JAKARTA – Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Irsyad Zamjani menyoroti, kasus kekerasan di lingkungan pendidikan kian meningkat disebabkan dua hal.
Pertama, karena memang kasusnya tambah banyak dan yang kedua karena publik sekarang sudah lebih aware. Sehingga, lebih sadar tentang pentingnya untuk bicara/melapor untuk menyampaikan adanya kasus-kasus kekerasan yang dialami.
“Kasus yang terjadi kekerasan seksual atau pun bullying atau perundungan. Hasilnya sebenarnya mirip dengan yang didapatkan oleh JPPI. Kisarannya 10-15 persen siswa secara umum. Jadi kalau kita lihat menurut pengakuan murid dan ini kita kategorisasi ke dalam kategori rawan, waspada, dan aman,” kata Irsyad dalam keterangan resminya, Sabtu (28/12/2024).
Praktik kekerasan dialami terutama oleh 10-15 persen murid di Indonesia. Persentase tersebut juga terbilang sangat besar jika dihitung dengan total siswa di seluruh sekolah. Namun secara umum kondisi sekolah di seluruh daerah relatif aman dari kekerasan.
“Untuk perundungan sama yaitu anak laki-laki cenderung lebih banyak yang mengalami kekerasan karena melakukan hal-hal yang memang menurut mereka bercanda tapi menurut yang jadi korban sesuatu yang tidak menyenangkan yang bisa dianggap sebagai kekerasan,” ujar dia.
Hukuman fisik juga laki-laki yang paling banyak mendapatkan kekerasan. Sementara kekerasan seksual dialami banyak anak perempuan.
Sementara itu, Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengungkap sebanyak 573 kasus kekerasan terjadi di lembaga pendidikan sepanjang 2024. Angka itu meningkat 100 persen dibanding 2023.
“Tren kekerasan di dunia pendidikan terus mengalami lonjakan. Tahun 2020 terdapat 91 kasus, lalu naik menjadi 142 kasus di 2021, 194 kasus di 2022, 285 kasus di 2023, dan tahun 2024 terdapat 400 573 kasus,” kata Ubaid dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024) lalu.